Senin, 25 Januari 2016

The Dreamers

KATALOG DALAM TERBITAN (KDT)

Alvian Abdul Jabar (@AhSpeakDoang)
The Dreamers; Alvian Abdul Jabar (@AhSpeakDoang)
Penyunting; Andri Agus Fabianto-Cet. ¹-Jakarta: WahyuMedia, 2013
iv + 144 hlm; 12,7 × 19 cm.

ISBN 979-795-738-1
I.   The Dreamers                                        I.  Judul
II.   Andri Agus Fabianto

                                         895

The Dreamers

Kini tinggal aku dan Tedy yang masih di Jakarta. Kami berdua masih belum juga mendapat perkerjaan. Tak hanya itu, berkomunikasi dengan Egi pun semakin sulit karena kesibukannya. Aku dan Tedy tidak menyalahkannya. Ini demi mengejar impiannya selama ini.

Kemacetan di Kota Jakarta telah menjadi makanan keseharian aku dan Tedy. Di bawah teriknya sinar matahari, aku dan Tedy terus berkeliling memasukan surat lamaran ke beberapa perusahaan.

Beberapa hari kemudian, Tedy mendapat panggilan dari salah satu studio foto. Ia akhirnya diterima menjadi fotografer di sana. Tentunya dengan masa training tiga bulan.

Dua bulan bekerja, Tedy mendapatkan kepercayaan dari atasannya untuk menjalankan salah satu studio foto di Bandung. Akhirnya, Tedy pindah ke Bandung.

Sekarang, tinggal aku sendiri di kostan dan terus mencari pekerjaan. Sudah hampir tujuh bulan tinggal di kota besar, aku belum juga mendapatkan pekerjaan. Sementara, aku sudah susah sekali menghubungi Tedy dan Egi. Namun, aku tidak patah semangat untuk terus mencari pekerjaan.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hariku dan membayar kost di Jakarta, aku bekerja serabutan. Apa pun aku kerjakan demi mendapatkan uang. Tentunya dengan jalan yang halal.

Kegemaranku pada dunia teknologi membuatku menyukai social media. Iya, aku suka sekali dengan Twitter. Di sana, aku bisa mengeluarkan unek-unekku. Itulah awal munculnya akun @AhSpeakDoang. Aku menyebut diriku dengan sebutan "Om Spik!"

Satu bulan setelah membuat akun tersebut, ternyata followers-ku bertambah banyak. Inilah yang membuatku semakin semangat bermain di social media.

Sampai suatu hari, tidak sengaja aku membaca salah satu mention dari followers-ku.

       "Om, tweetnya bagus-bagus. Aku suka banget. Keren-keren lagi. Kenapa nggak dijadiin buku aja, hehe."

Sempat kaget juga sih baca mention itu, tapi setelah dipikir-pikir, ternyata ada baiknya juga. Akhirnya, aku mulai mencoba menulis beberapa cerita. Ya, cerita nyata yang benar-benar aku alami.

Setelah menyelesaikan beberapa cerita, aku yang saat itu hanya bermodalkan beberapa naskah di tangan, langsung mencari penerbit yang bersedia menerbitkan buku ini.

Ternyata tidak mudah mencari penerbit, penolakan demi penolakan aku dapat saat itu. Tapi, semangat aku masih membara. Aku harus bisa mengejar impianku.

Berbulan-bulan aku mencari penerbit, akhir-akhirnya aku bertemu dengan salah dengan Mas Fabi, salah seorang Editor In Chief di perusahaan penerbitan.
        "Naskahnya saya terima dulu, ya. Nanti akan saya kabari lagi sekitar satu atau dua Minggu." Dengan senang hati aku memberikan naskah-naskah kisah nyataku.

Dua Minggu berlalu, tiba-tiba aku mendapat telepon dari Mas Fabi bahwa naskahku diterima dan akan dibutuhkan. Tentunya dengan beberapa revisi naskah yang harus diperbaiki.

Kini, harapanku menjadi penulis tercapai. Ternyata, waktu akan menjawab semuanya.

-----

Sembilan bulan aku sudah tidak bertemu dan berkomunikasi dengan Egi dan Tedy. Tepat pada 15 Agustus 2012, sebelum perayaan hari raya Indul Fitri, aku memutuskan untuk pulang ke kampung halaman. Aku rindu kampung halamanku.

Aku segera membereskan pakaian dan perlengapan lainnya yang ada di kostan. Aku pergi menuju Stasiun Gambir. Sesampainya di stasiun, aku langsung menuju loket penjualan tiket dan membeli tiket kereta yang menuju ke Bandung pada hari itu juga.

Tepat pukul tiga sore, kereta yang aku tunggu datang. Aku masuk menuju gerbong kereta. Karena ramai, aku harus berdesakan masuk dengan penumpang lainnya.

Tiba-tiba saja, terlintas dalam pikiranku akan kenangan bersama Fadil, Egi, dan Tedy. Fadil sudah bahagia menemui "Kekasih-Nya". Lalu, bagaimana dengan Egi dan Tedy? Aku benar-benar kangen dengan mereka.

Kurang lebih satu jam perjalanan, akhirnya aku sampai di Bandung, di kampung halamanku.
Kurang lebih dua puluh menit setelah naik kendaraan umum, aku tiba di rumah. Kedatanganku disambut hangat oleh keluarga.

------
Sungguh tidak terasa waktu berjalan begitu cepatnya. Sekarang tepat 19 Agustus 2012, aku merayakan hari Idul Fitri. Semua menyambut dengan gembira.

Rasa rindu ini mulai aku rasakan lagi. Aku benar-benar kangen sama sahabatku. Sambil menikmati suasana saat itu, aku membayangkan kebersamaanku dengan Fadil, Egi, dan Tedy.
       "Dil, gue kangen banget sama lo. Semoga lo tenang di sana ya, Dil," kataku dalam hati.
Entah kini, Egi, dan Tedy telah menjadi apa. Aku tidak tahu. Yang jelas, aku kangen banget sama mereka.

Setelah cukup lama aku di sana, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dari arah belakang, sontak aku langsung menoleh ke arah belakang. Dan betapa terkejutnya aku, ternyata yang aku lihat itu adalah Egi dan Tedy. Iya, sahabatku dimasa dulu. Mereka berjalan ke arah aku dengan cepat dan langsung memelukku. Disana kami melepas rasa kangen kami.

Egi berbicara tentang beberapa hal. Kini ia telah bekerja di salah satu perusahaan di Jepang dan Tedy bekerja di salah satu studio foto. Mereka benar-benar sukses. Aku rasa kini sahabat-sahabatku telah menjadi orang yang sukses. Apalagi Egi, kini ia terlihat sangat rapi dan juga memiliki mobil pribadi.

------
Setelah cukup lama bercengkerama, tiba-tiba Tedy mengajak aku dan Egi untuk pergi ke Kawah Putih, melihat mimpi-mimpi kita yang pernah kita tulis di sebuat batu besar. Tawaran yang sangat menarik.

Hari itu juga, aku, Egi, dan Tedy bergegas pergi menuju Kawah Putih menggunakan mobil milik Egi. Di tengah perjalanan, kami teringat akan sosok Fadil. Dulu, susah dan senang kami lewati bersama. Tapi, kini kita hanya bertiga.

Kurang lebih tiga puluh menit perjalanan, akhirnya sampai juga di Kawah Putih. Kami keluar dari mobil dan langsung berjalan menuju batu besar.

Setelah tepat berada di depan batu besar, kami sepakat untuk melihat mimpi-mimpi kita yang dulu pernah di tulis di batu itu.

Egi mulai membersihkan batu yang saat itu telah berlumut sehingga tulisannya telah tertutup lumut. Setelah dibersihkan, disaksikan oleh Aku dan Tedy, Egi mulai membacakan mimpinya. Dan mimpi yang dulu pernah Egi tulis adalah "Aku ingin menapakkan kaki di negara Sakura(Jepang)."

Dan mimpi itu kini menjadi kenyataan. Egi justru bekerja disana.

Setelah itu, berlanjut melihat mimpi yang pernah ditulis Tedy. Disana Tedy menuliskan mimpinya.
        "Aku ingin menjadi seorang fotografer."
Dan mimpi Tedy pun kini telah terwujud. Ia benar-benar menjadi seorang fotografer.

Lalu sekarang, giliranku melihat mimpi yang dulu pernah aku tulis di belakang batu dimana disitulah mimpi yang pernah aku tulis dulu.
       "Aku ingin menjadi seorang penulis." Benar saja. Kini aku telah menjadi seorang penulis.

Setelah melihat mimpi-mimpi yang dulu pernah ditulis, tiba-tiba kami terdiam, saling bertatapan.

       "Fadil, ya Fadil," kata Tedy.
       "Kenapa, Ted?" tanya aku.
       "Kita lihat mimpi yang pernah Fadil tulis, yuk!"
       "Iya, Ayo, Ted," jawab Egi.

Lalu, kami berpindah posisi di sebelah kiri batu, dimana Fadil menuliskan mimpinya. Kami membaca mimpi Fadil bersamaan, "Sahabat, aku ingin kita selalu bersama."

Setelah membaca tulisan itu, tak ada satu pun dari kita yang mampu menahan air mata. Kristal bening mulai menetes di seluruh pelupuk mataku. Begitupun dengan Tedy dan Egi.
      "Benar-benar luar biasa lo, dil," ucapku dalam hati.
      "Dil, meskipun lo udah nggak ada, tapi hati lo ada di dalam diri gue," kata Egi sambil menangis.
      "Dan elo, Dil, bakalan tetap bersama kita," sahut Tedy.

Setelah itu, kami langsung memutuskan untuk ziarah ke makam Fadil.

Sesampainya di sana, kami memanjatkan doa agar Fadil berada di tempat yang paling istimewa di samping Tuhan Yang Maha Esa. Aamiin..

                         Sahabat, you're my hero..
                         Sahabat, you're my inspiration..
                        Sahabat, you're my everything..

The Dreamers

•Mengejar Mimpi•

Di tepi kali, tepat pohon besar yang rindang, Egi menyandarkan tubuhnya. Matanya berkaca-kaca sambil menatap langit. Melihat pemandangan itu, aku coba mendekati Egi.

         "Gi, kenapa lo ngelamun mulu. Udah, Gi. Lo nggak usah murung kayak gini. Kasihan Fadil. Dia itu pengen melihat kita bahagia. Kalo lo terus kayak gini, gue yakin Fadil akan sedih," katanya menasihati Egi.
         "Iya, Je. Gue ngerti, kok."

Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar dari arah belakang. Sontak aku dan Egi segera menoleh. Ternyata itu suara langkah kaki Tedy. Ia berjalan menghampiri aku dan Egi.

Sesampainya di bawah pohon, tanpa sepatah kata pun yang terucap dari bibir Tedy, Tedy langsung duduk di bersandar di bawah pohon dan menarik nafas dalam dalam, lalu dihembuskan kembali.
        "Kenapa, Ted? Lo ada masalah?" tanyaku.
        "Kita nggak bisa kayak gini terus. Kita harus lebih maju. Kalo kita seperti ini terus, mimpi kita nggak akan pernah bisa terwujud," kata Tedy sambil menoleh ke arahku dan Egi.
        "Jadi, maksud lo apa, Ted?" kata Egi.
        "Kita harus mencari pekerjaan," jawab Tedy.
        "Untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, kita harus pergi ke kota besar. Di sana, lapangan pekerjaan banyak. Dan, kita bisa mendapatkan penghasilan yang lumayan," kata Tedy melanjutkan.
        "Maksud lo, kita merantau gitu?" tanya Egi.
        "Iya, Bro. Kita harus mencoba mengadu nasib di kota besar."
        "Dimana?" tanyaku.
        "JAKARTA!" jawab Tedy dengan tegas sambil memasang senyum di sudut bibirnya.
        "Setuju, nggak?" tanya Tedy.
        "Hmm..., kalo aku sih setuju-setuju aja, Ted," jawabku.
        "Aku juga setuju, Ted."
        "Nah, semua udah setuju. Lusa kita berangkat, gimana?" tanya Tedy.
        "Oke," jawab aku dan Egi serentak.

------
Hari ini, kami meminta izin ke orangtua masing-masing. Tentunya dengan membawa bekal dan uang yang cukup selama mencari pekerjaan di Jakarta. Setelah itu, kami berkumpul di tempat favorit seperti biasa.
Disana, kami berunding untuk menentukan hal apa saja yang perlu dipersiapkan. Pukul tiga sore, kami berangkat ke Jakarta menggunakan kereta api.
Di perjalanan kami teringat sosok Fadil. Tapi, kami sadar kalau Fadil telah tiada.

Di dalam kereta api, aku memejamkan mata sejenak sambil merebahkan tubuh kurus ini di kursi kereta api.
        "Entah harus dari mana dimulainya mimpi yang pernah aku tulis di sebuah batu besar itu harus tercapai," kataku dalam hati.
Tiba tiba. "Karcis... karcis," kata petugas kereta api.

Tedy segera memberikan tiket kereta api. Setelah memberikan tiket kereta, kami kembali berbincang santai.
        "Eh, nanti di Jakarta nggak usah khawatir terlantar, ya. Tante gue punya satu kamar kost kosong. Disana, kita bisa tidur bertiga," kata Tedy.
        "Assiikkk. Jadi, kita gak perlu muter-muter cari kost-an lagi," kata Egi.

Sampai di Stasiun Gambir, aku, Fadil, dan Tedy mengantri turun sambil berdesakan dengan penumpang lainnya. Maklum, kami naik kelas ekonomi.
Setelah berhasil keluar, kami segera melanjutkan perjalanan menuju rumah tantenya Tedy. Cukup dengan menggunakan satu buah angkutan umum, kami sampai dengan selamat di rumah tantenya Tedy.

Tantenya Tedy ini sungguh ramah. Kami disambut dengan hangat. Setelah itu, kami disuguhi teh hangat untuk melepas dahaga kami selama perjalanan.
        "Capek, ya? Di minum tehnya! Panggil aja saya Tante Nova," katanya sambil tersenyum
        "Iya, Tante. Makasih," jawab kami serempak.
Setelah sedikit berbincang, akhirnya Tante Nova memberikan kunci kamar kost yang kosong. Kami pun langsung merebahkan badan di atas kasur yang telah tersedia di kostan tersebut. Karena lelah, tak terasa kami tidur bertiga diatas kasur yang sama.

------
Terdengar suara getaran handphone dengan nada panggil. Aku segera membuka mata ini perlahan sambil melirik jam tangan. Ternyata, itu bunyi alarm handphoneku.
       "Udah jam lima subuh," kataku dalam hati.
Aku segera menoleh ke arah Egi dan Tedy yang masih tertidur pulas. Mungkin mereka masih merasa lelah setelah menempuh perjalanan seharian ini.

Setelah selesai mandi dan shalat subuh, aku langsung berjalan ke arah pintu keluar dan membuka pintu. Hembusan angin pagi ini mulai menusuk hingga ke pori-pori terdalam kulitku. Aku melihat Egi dan Tedy sudah bangun dan kami memutuskan pada siang hari untuk mencari pekerjaan.

Tepat pukul 10 pagi, kami bersiap-siap mencari pekerjaan. Setelah selesai sarapan, kami pamit ke Tante Nova dan pergi melamar kerja ke beberapa perusahaan dan pertokoan yang membutuhkan karyawan baru. Ya, hanya dengan bermodalkan ijazah SMA.

Cukup lama kami berkeliling dari pagi sampai sore. Tapi hasilnya, nihil. Ternyata, mencari pekerjaan itu tidak semudah yang kami bayangkan.

------
Keesokan harinya, seperti biasa. Kegiatan kita hanya mencari pekerjaan. Sudah seminggu lebih kita mencari pekerjaan. Namun, aku dan Tedy masih harus menunggu panggilan. Sementara Egi, ia lebih beruntung dari kami. Ia telah diterima bekerja di salah satu perusahaan asing sebagai maintenance.

Ternyata, waktu mendapat panggilan di perusahaan otomotif itu, bertemu dengan Resty. Iya, Resty yang dulu mobilnya mogok di Kawah Putih. Ternyata Resty juga bekerja di perusahaan yang sama bersama Egi.

Resty bekerja sebagai manajer. Inilah yang memudahkan Egi mendapatkan posisinya sekarang ini.

Setelah beberapa bulan bekerja di sana, Egi mulai memutuskan untuk pindah kostan. Sebab, jarak dari kostan ke kantor Egi, cukup jauh. Ongkos yang dikeluarkan pun cukup besar. Akhirnya, setelah berunding dengan aku dan Tedy, Egi memutuskan untuk pindah kost yang dekat dengan kantornya.

Peruntungan Egi tidak sampai di situ, karena ia anak yang rajin dan pekerja keras, ia pun dipercayakan memegang posisi Kepala Maintenance. Bahkan, setelah tiga bulan bekerja di sana, Egi dipindahtugaskan ke Jepang bersama Resty untuk memimpin tim yang dibentuk oleh atasan mereka.

Sabtu, 23 Januari 2016

The Dreamers

Malam kian larut, suasana sepi mulau terasa di rumah sakit. Melihat kondisi Egi yang belum sadar, akhirnya aku, Fadil, dan Tedy memutuskan untuk menginap di rumah sakit, menunggu sambil Egi sadar. Aku segera menelepon ke rumah untuk memberi kabar mama. Begitupun dengan Fadil dan Tedy.

Hingga keesokkan harinya, kami bertiga memutuskan untuk pulang. Tapi, salah satu harus ada yang tinggal untuk menemani Egi. Tedy memilih pulang duluan dan kembali kerumah sakit siang. Setelah itu, Fadil. Disusul dengan aku.

Tepat pukul tiga sore, ketika aku ingin balik dan giliran Fadil dan Tedy yang berjaga, Egi mulai sadar. Tapi, kondisinya masih lemas dan belum memungkinkan untuk diajak bicara.

Memasuki hari kedua, kondisi Egi bukannya semakin membaik, justru semakin memburuk. Ia kembali drop dan tidak sadarkan diri.

Setelah dokter kembali memeriksa Egi, ternyata terjadi infeksi pada bagian hati, jantung, dan beberapa organ dalam tubuh lainnya akibat tusukan pisau berkarat kelima pemuda yang tempo hari berkelahi dengan kami.

Dokter mengatakan kepada ibu dan bapak Egi kalau infeksi yang terjadi di dalam tubuh Egi ini sangat berbahaya. Kebetulan, kami bertiga ada disitu.

Satu satunya cara menyelamatkan Egi adalah mencari pendonor yang mau mendonorkan hati dan beberapa organ dalam tubuh lainnya.

Aku benar-benar syok. Entah apakah sama yang dirasakan dengan Tedy dan Fadil. Orangtua Egi menangis sesenggukkan. Mereka benar-benar bingung harus berbuat apa.

------
Pihak rumah sakit memberlakukan peraturan bagi yang menunggu pasien minimal dua orang. Alhasil, Aku, Fadil, dan Tedy harus bergantian menunggu sampai Egi sembuh.

Tepat pukul tujuh malam, aku dan Tedy memutuskan untuk pulang. Sedangkan Fadil memutuskan untuk tetap di rumah sakit bersama Ibunda Egi.

Tanpa sepengetahuan aku dan Tedy, tepat pukul 10 malam, Fadil memaksa dokter untuk mengoperasi dirinya dan memberikan organ dalam tubuhnya kepada Egi.

Awalnya, keinginan Fadil ditolak dokter. Sebab, hal ini menyangkut nyawa dirinya. Tapi, Fadil terus memaksa.
       "Aku hanya ingin melihat orang-orang di sekitarku bahagia. Jadi, apa pun risikonya, aku siap."

Setelah meyakinkan dokter, pukul dua belas malam Fadil dan Egi dibawa ke ruang operasi. Di sana Fadil terus melihat ke arah Egi yang saat itu terbaring tidak berdaya.

Pukul tiga dini hari, operasi selesai. Tapi, apa? Fadil menghembuskan nafas terakhirnya.

------
Tepat pukul delapan pagi, aku dan Tedy langsung menuju rumah sakit. Sesampainya di sana, pihak dokter langsung menceritakan kejadian nekad Fadil yang mendonorkan hatinya untuk Egi. Aku dan Tedy yang tidak tahu apa-apa mulai bertanya tanya, sebelum akhirnya dokter mengatakan Fadil telah meninggal dunia.

Aku masih tidak percaya dengan perkataan dokter sebelum akhirnya ia menunjukkan kepada aku dan Tedy jenazah Fadil di kamar mayat. Di sana, sudah terlihat orangtua Fadil serta orangtua Egi.

Aku menangis sejadi-jadinya. Sementara, ibunda Fadil pingsan. Lalu, dibawa oleh perawat rumah sakit. Di sana, dokter mulai menjelaskan semuanya.
        "Sahabatmu ini sangat luar biasa. Dia mengorbankan hidupnya hanya untuk melihat orang di sekitarnya bahagia."

Aku dan Tedy kembali menangis dan mendekap tubuh Fadil yang sudah tidak berkutik lagi. Dingin sekali tubuh itu. Namun, diwajahnya masih menyimpan senyuman. Iya. Senyum kebahagiaan karena telah menolong hidup sahabatnya.

Tepat pukul dua belas siang, Fadil mulai di makamkan. Aku dan Tedy ikut mengantar sampai rumah peristirahatan. Kecuali dengan Egi. Dia masih harus menjalani perawatan intensif pasca operasi.

------
Seminggu setelah kepergian Fadil, Egi mulai sehat dan kembali beraktivitas. Namun, Egi masih belum mengetahui bahwa Fadil telah tiada. Hingga suatu hari, Egi bertanya kepadaku dan Tedy.
        "Bro, Fadil mana?"

Aku dan Tedy saling menatap. Bingung harus berkata apa. Namun, aku dan Tedy tetap harus jujur kepada Egi. Ia harus mengetahui ini semua.

Tedy pun mulai bercerita panjang lebar tentang kejadian yang sebenarnya, setelah mendengar hal tersebut. Mulai di kedua pelupuk mata Egi mengalir deras kristal-kristal bening. Tak terlihat lagi wajah Egi yang ceria.
         "Bro, anterin gue ke makan Fadil, ya," kata Egi sambil mengusap air matanya.

Sampai di pemakaman, Egi langsung duduk bersimpuh menghadap batu nisan Fadil. Egi tidak menyangka kalau Fadil nekat berbuat seperti itu demi dirinya.
         "Dil, kenapa lo ngelakuin hal ini! Lo sahabat terbaik yang gue miliki. Kalo lo ngelakuin ini demi kebahagiaan gue. Gue bener-bener terima kasih sama lo, Dil. Jujur, gue bingung harus bales lo pake apa. Yang pasti, elo selalu akan tersimpan di hati gue. Doa gue pasti akan selalu menyertai nama lo."

Egi masih mengungkapkan kesedihannya di makam Fadil. Tak kuasa, ia pun memeluk batu nisan Fadil. Aku dan Tedy yang saat itu berada di samping Egi, mulai menenangkan Egi.

Sekarang sudah pukul lima sore. Cuaca mulai gelap. Awan hitam mulai menggelayuti langit. Menyelimuti pekatnya kondisi di pemakaman.
Sayup-sayup terdengar rintihan pohon karena saling menggesek. Ditambah bunyi gemuruh yang cukup besar.
        "Gi, cuaca udah mendung banget, nih. Pulang aja yuk sebelun hujan!" kata Tedy.

Egi mulai bangkit dan kita segera memutuskan untuk pulang.

The Dreamers

•Satu kata untuk sahabat•

Tidak seperti biasanya, akhir-akhir ini mama pergi ke pasar sendirian. Alhasil, aku memiliki banyak waktu untuk bersantai di rumah.

Siang itu seusai membantu mama berjualan, aku langsung duduk santai di atas sofa sambil nonton beberapa acara televisi. Cukup lama aku menonton televisi hingga membuatku merasa bosan. Hingga akhirnya, aku memutuskan untuk ke tempat favoritku, berharap bisa bertemu dengan sahabat-sahabat terbaikku.

        "Fadil, Egi, Tedy, aku kangen sama kalian," kataku dalam hati.
        "Andai kalian tahu, ada banyak hal yang ingin aku ceritakan kepada kalian," kataku kembali.

Sampai di tempat favorit, aku lihat Fadil sudah ada di sana. Aku berlari kencang dan hampir tersungkur. Lalu, kepeluk erat tubuh Fadil. Kugoncangkan hebat tubuhnya. Ya, ini adalah pelampiasan atas kangenku yang terlalu berlebih.

Tiba-tiba, dari arah belakangku seperti ada yang menepuk pundak. Ternyata Egi dan Tedy. Ya, mereka. Sahabat-sahabat setiaku.

Kami pun mengambil posisi masing-masing untuk duduk tepat di bawah pohon rindang di pinggir kali. Entah harus meluapkan seperti apa kegembiraan ini. Yang pasti, aku rindu mereka. Rindu dengan sahabat-sahabat terbaikku.

Karena sudah lama tidak bertemu, Fadil berinisiatif mengajak kita bertiga pergi ke suatu tempat. Di mana kita bisa menikmati pemandangan perkebunan teh yang indah dan bisa melihat pemandangan matahari kala senja. Kita bertiga pun menyetujui ajakan Fadil.

Cukup lama kita berjalan dan akhirnya tiba juga di perkebunan teh. Sambil terus berjalan menuju bukit teratas, kami tertawa karena mendengar kelakar Egi.

Sampai diatas bukit, kami duduk di atas tumpukan daun kering. Di sini kami melepaskan kerinduan lantaran sudah satu bulan tidak bertatap muka sama sekali.

Cukup lama kami bercengkerama, tak terasa sudah pukul lima sore. Kami pun memutuskan untuk pulang. Aku dan ketiga temanku pun segera beranjak dari tempat itu dan mulai melangkahkan kaki.

Aku melangkahkan kaki ini perlahan menuruni perkebunan teh diiringi dengan pemandangan indah terbenamnya matahari senja. Baru beberapa saat berjalan, tiba-tiba di depan terlihat lima orang pemuda yang berjalan. Mereka menghampiri kami.
        "Tunggu, Bro!" sapa salah satu dari kelima pemuda itu.
        "Iya. Ada apa, Bang?" tanya Tedy.
        "Kita lagi butuh uang, nih!"
        "Tapi, kita nggak punya uang, Bang."
        "Aah, jangan bohong lo!"

Tiba-tiba, kelima pemuda itu langsung merogoh saku celana kita berempat. Egi yang saat itu merasa diperlakukan mereka kasar, langsung melawan salah satu dari kelima pemuda tersebut.

Ia sempat beradu mulut sebelum akhirnya saling adu jotos. Suasana mulai ricuh saat salah satu dari kelima pemuda itu mulai menyerang Tedy. Aku yang saat itu berada di samping Tedy, mulai memisahkan pertengkaran itu. Tapi sayang, niatku tersebut justru menghadiahkan satu bogeman mentah di pipi sebelah kananku.

Perkelahian pun tak terelakan lagi. Kami berempat melawan kelima pemuda yang memaksa kami untuk memberikan uang.
Mendengar suara gaduh, warga yang berada di dekat perkebunan teh mulai keluar rumah.
        "Woii, bubar!" kata salah seorang warga, yang diikuti warga lainnya.

Mendengar teriakan warga, tiba-tiba salah satu dari kelima pemuda yang berniat memalak kita berempat, mengeluarkan sebilah pisau. Kemudian, ia menusuk perut dan bagian dada Egi. Saat itu juga Egi langsung tergeletak.

Melihat Egi tergeletak, kelima pemuda itu segera berlari meninggalkan kami. Aku yang saat itu melihat Egi tergeletak, langsung panik. Untunglah warga yang menghampiri kita segera membawa Egi kerumah sakit.

Tiba di rumah sakit, Egi langsung di bawa ke UGD. Aku, Fadil, dan Tedy menunggu di luar ruangan sambil berharap semoga Egi tidak kenapa-kenapa.

Dalam kondisi panik seperti ini, Tedy mulai menghubungi orangtua Egi. Tak lama kemudian, orangtua Egi tiba di rumah sakit. Mereka menangis sejadi-jadinya. Rentetan pertanyaan pun dilontarkan kepada kami bertiga. Tedy yang lebih tenang menghadapi peristiwa ini, menjelaskan kronologis detail peristiwa yang baru saja kami alami.

Setelah Tedy menjelaskan kejadian itu, tak lama kemudian keluar seorang dokter dari dalam ruangan di mana Egi dirawat saat itu.

       "Kondisinya benar-benar parah. Ada dua tusukan. Di bagian perut dan dada. Kini, kondisinya masih lemah. Mohon bapa ibu dan bapak bersabar dan trus berdoa," kata Dokter yang menangani Egi.

Aku, Fadil, dan Tedy kembali duduk. Diiringi dengan orangtua Egi. Tak hanya ibu Egi saja yang bisa menangis, aku pun tak kuasa menahan sedih. Tedy berusaha menenangkan ibunda Egi.

Karena penasaran dengan kondisi Egi, aku langsung bangkit dari tempat duduk dan berjalan ke arah pintu UGD rumah sakit. Kebetulan di pintu terdapat kaca kecil untuk melihat ke dalam ruangan pasien.

Disana, aku lihat Egi sedang terbaring lemas tak berdaya. Bercak darah masih terlihat dibaju dan celana Egi saat itu.
Setelah melihat kondisi Egi, aku langsung kembali duduk dan terus berdoa semoga tidak terjadi hal-hal yang buruk terhadap Egi.

Selasa, 19 Januari 2016

The Dreamers

•Hanya Waktu•

Tidak biasanya pagi ini hujan turun cukup deras. Disertai dengan hembusan angin kencang dan petir yang cukup menggelegar.

Ibu pun terpaksa tidak berjualan karena memang cuaca kali ini tidak terlalu bersahabat dengan dirinya.
Sambil nunggu hujan reda, aku mulai duduk di depan televisi dan menonton beberapa acara kesukaanku. Aku menekan tombol remote televisi satu per hati. Nampaknya, acara juga tidak ada yang terlalu bagus. Akhirnya, aku memilih untuk menonton berita.

Tepat pukul 10.00, hujan mulai reda. Aku pun langsung mematikan televisi dan pergi menuju tempat favorit aku, Tedy, Fadil, dan Egi biasa berkumpul. Tempat ini kami pilih karena memang bisa menenangkan hati dan pikiran.
Cukup lama aku bersandar di bawah pohon sambil menikmati suasana di sekelilingku. Tidak ada satu pun temanku yang kesini.

Akhirnya, aku memutuskan pulang duluan.

Sesampainya di rumah, aku langsung mengambil air wudhu dan sholat. Selesai sholat, kerebahkan tubuh ini di sofa, Kunyalakan televisi dan menonton acara televisi kesukaanku.

      Keesokkan harinya seperti biasa, aku pergi ke tempat favoritku. Sesampainya di sana, lagi-lagi aku tidak menemukan sahabatku. Tidak ada seorang pun disana. Jadi, kuputuskan saja untuk kembali kerumah dahulu, sore aku akan kembali lagi ke sini.
Ya, memang kegiatanku tidak terlalu banyak, hanya membantu ibu setelah aku lulus sekolah. Jadi, aku memilih menonton televisi. Kebetulan hari ini aku libur.

Menjelang sore, aku kembali lagi ke tempat favorit kami, ternyata mereka juga tidak menunjukkan batang hidungnya.
Aku mencoba duduk dan menyandarkan tubuh ke arah pohon. Kutarik nafas dalam-dalam. Kuhembuskan kembali. Sekian lama ku di tempat ini, tak seorang pun yang datang.
          "Mungkin mereka sibuk," jawabku dalam hati.

      Pagi ini aku mulai disibukkan dengan beberapa aktivitas. Selesai membantu mama berjualan, aku harus membantu mama membeli bumbu-bumbu masakan serta menyiapkan peralatan untuk berjualan.
Inilah yang membuat kami akhirnya jarang sekali berkumpul di sana. Ya, karena kesibukkan masing-masing membantu orangtua.

Sudah sebulan ini aku tidak bertemu dengan ketiga sahabatku. Kangen rasanya ingin kembali bercengkerama di tepi kali, tepat di bawah pohon rindang. Rasa kangen inilah yang membuatku kembali ke tempat favorit kami. Tapi, tetap saja aku tidak menemukan Fadil, Tedy, ataupun Egi. Hanya tumpukan daun kering yang berserakan dimana-mana. Aku selalu berharap, semoga ada waktu di mana kita semua akan kembali berkumpul.

The Dreamers

Selesai membantu mama berjualan nasi uduk, siang itu aku langsung bergegas pergi. Seperti biasa, nongkrong di tempat favorit bersama ketiga sahabatku. Ya, di bawah pohon pinggir kali.
Sesampainya di sana, aku melihat Egi sedang duduk bersandar di bawah pohon. Mendengar suara langkah kakiku, Egi pun menoleh ke belakang.
        "Hai, Je. Sini!" panggil Egi.
        "Iya, Bro," jawabku.
Aku pun duduk di sebelah Egi sambil menatap keatas, mengamati pemandangan langit yang begitu cerah. Lalu, aku pun menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.
        "Oh iya, Gi. Kemaren lo nulis apaan di batu?" tanya aku memecah keheningan siang itu.
        "Ah, rahasia dong. Emang, lo nulis apaan Je?"
        "Ada deh, haha...," jawabku sambil tertawa.

Tiga puluh menit sudah kita bercengkerama santai sambil ditemani nyanyian daun dan suasana cerah saat itu. Tiba- tiba suara langkah kaki terdengar dari belakang yang sontak membuat aku dan Egi menoleh ke belakang bersamaan. Ternyata, itu suara langkah kaki Fadil dan Tedy.
        "Broo, lagi pada ngapain?" tanya Tedy.
        "Biasa, lagi nongkrong," jawab Egi.
        "Eh, Bro. Gimana kalau kita pergi ke sana?" tanya Tedy sambil nunjuk ke arah pegunungan yang terpampang di depan kita berempat.
Karena kecintaan pada alam, akhirnya tanpa basa-basi, kami setuju dan bergegas pergi. Satu jam perjalanan, akhirnya kami tiba di Dusun Kaliurang, sebuah perkampungan yang dikenal dengan karakter penduduknya yang ramah.

Benar saja. Baru memasuki gapura di salah satu dusun, kami langsung bertegur sapa dengan salah seorang penduduk yang sedang mencari rumput.
         "Aduh, pemuda-pemuda harapan bangsa ini mau pada kemana?" tanya salah seorang penduduk yang saat itu sedang mencari rumput.
         "Mau ke atas, Pak," jawab Tedy.
         "Oh, kalian mau ke curug (air terjun), ya?" tanya bapak pencari rumput.
         "Loh, emang disini ada curug ya, Pak?" tanya Egi.
         "Aduh, kalian baru pertama kali kesini, ya?" tanya bapak pencari rumput itu pun balik bertanya.
         "Iya, Pak," jawab Tedy sambil tersenyum.
         "Pantesan. Di sini tuh ada curug yang terkenal dengan keindahannya. Airnya itu bener-bener seger. Kalian semua wajib kesana!" kata bapak itu.
         "Curugnya ada dimana, Pak?" tanyaku.
         "Lurus aja terus, nanti bakalan nemu curugnya," jawab bapak itu.
         "Oh, yaudah. Kita semua kesana dulu ya, Pak. Terimakasih." jawab Tedy.

Tergiur sekaligus penasaran ingin melihat curug itu, akhirnya kami berencana pergi kesana, dengan bermodalkan petunjuk dari bapak pencari rumput. Langkah demi langkah kami jejakkan bersama.

Setelah tiga puluh menit berjalan, tiba-tiba Tedy berhenti berjalan dan melihat ke arah sungai yang ada di samping.
         "Kenapa Ted? Kok diem?" tanyaku.
         "Liat anak SD itu deh Je," jawab Tedy.
Kita berempat kaget melihat beberapa anak SD yang hendak menyebrang sungai. Mereka digendong ayahnya masing-masing untuk menyebrang sungai.
         "Ternyata, di sini tidak ada jembatan penyebrangan, ya," kata Fadil memecah keheningan saat itu.
         "Iya, Dil," jawabku.
Bukan Tedy namanya kalau nggak punya ide-ide kreatif. Tedy pun bergegas menuju ke arah sungai dengan diikuti kita bertiga.

Sesampainya di pinggir sungai, kami terdiam sejenak melihat orang-orang yang baru saja menyebrang sungai. Kini, di sungai itu hanya tinggal kita berempat.
         "Dil, elo dulu kan pernah ikut Pramuka. Bisa bikin perahu kan lo?" tanya Tedy.
         "Bukan perahu, Ted. Rakit," jawab Fadil.
         "Hmmm, yaudah deh. Yuk bikin rakit!" kata Tedy sambil tersenyum.
         "Ayo!" jawab Fadil, aku dan Egi tanda setuju.

Kami pun mulai mengumpulkan kayu kayu bekas dan beberapa batang pohon pisang yang ada di sekitar sungai. Setelah semua terkumpul cukup banyak, kami mulai menyusun satu persatu kayu dengan tali seadanya yang kami temukan bersamaan dengan kayu. Tentunya dipandu oleh Fadil.
Cukup lama kita berkutat merangkai satu persatu kayu tersebut untuk menjadi rakit. Dan akhirnya, jadi juga.

Kami pun mencoba terlebih dahulu untuk menyebrangi sungai. Hasilnya cukup memuaskan. Rakit hasil kita berempat cukup kuat dan nyaman walaupun dibuat dengan barang seadanya.

Tak lama kemudian, kita melihat segerombolan anak SD yang akan menyebrang sungai. Mereka semua terkejut karena baru kali ini ada rakit. Akhirnya, mereka menyebrangi sungai menggunakan rakit buatan kami. Senang rasanya bisa membantu.

Setelah itu, kami pun melanjutkan perjalanan menuju curug. Beberapa kali, Egi berkelakar sehingga membuat suasana semakin nyaman.
Tak lama kemudian, mulai terdengar suara deras air dan hawa semakin dingin menusuk sampai ke pori-pori kulit. Benar saja, lima belas menit berjalan, kami menemukan curug yang dimaksud oleh bapak pencari rumput.

Sungguh pemandangan yang luar biasa. Benar-benar indah. Tidak menyia-nyiakan moment indah itu, kami mulai mendekati air terjun itu. Semakin dekat dengan air terjun itu, semakin kencang hembusan angin dan percikan air menghempas tubuh kami. Disana, kami menghabiskan waktu bersama hingga senja.

The Dreamers

8 Februari 2009

Seperti biasa, pagi ini aku bangun pagi sekali, mempersiapkan diri mandi dan pergi ke masjid untuk melakukan sholat Subuh berjamaah. Selesai sholat, aku luangkan waktu untuk membantu mama mempersiapkan peralatan dagangnya. Selesai membantu mama, aku bergegas pergi ke tempat yang seperti kami janjikan kemarin.

Sampai di tempat favorit kami, aku melihat Egi tengah duduk sendiri di bawah pohon sambil melamun. Sambil berjalan perlahan, aku pun menghampiri Egi,
           "Bro, yang lain mana?" tanyaku sambil menepuk pundak Egi.
           "Weeeyyy!" Egi terkejut sambil melihat ke arahku dan melanjutkan pembicaraannya.
           "Wah,parah lo! Kaget, nih. Nggak tau nih, masih pada tidur kali," jawab Egi sekenanya.

Tak lama kemudian, Tedy dan Fadil datang menyapa kami yang tengah duduk saat itu.
           "Pagi Mas Bro semua. Kita jadi ke kawah kan?" sambut Tedy dan Fadil bersamaan.
           "Jadi, dong!" jawabku.
           "Yaudah, langsung cabut aja," sahut Egi.

Kemudian, kami pun berjalan perlahan meninggalkan tempat favorit biasa kami berkumpul. Canda gurau kami pun memecah keheningan pagi itu.
Tidak terasa, sudah hampir dua jam kami berjalan. Tubuh ini rasanya penuh dengan peluh. Lengkap dengan letih dan dahaga yang memenuhi tiap rongga di kerongkongan kami. Akhirnya, kami pun memutuskan beristirahat di sebuah halte bus dan membeli air mineral.
           "Kita mau kemana sih? Jauh banget," tanya Fadil.
           "Kan mau ke kawah, Dil," jawab Egi.
           "Iya, Dil," sahut Tedy.

Saat kami tengah asyik bercengkerama ringan, tiba-tiba saja kami melihat sebuah mobil Jeep yang nampaknya mogok. Di sampingnya berdiri seorang gadis berambut panjang dengan rona merah di pipinya lantaran terkena panas.
          "Eh, kalian bisa tolongin aku, nggak?" tanya gadis itu ketika kami akan melintasi mobilnya.
          "Bantu apa, ya?" jawabku.
          "Mobil aku mogok."
          "Gi, Egiii," kata Tedy sambil narik baju Egi.
          "Gi, elu kan lulusan SMK. Pasti ngerti dong tentang mesin?" tanya Tedy.
          "Dikit, Bro."
          "Ya udah, coba lu liat mesin mobilnya! Cek! Kali aja ada yang bermasalah."

Kemudian, Egi mulai melihat mesin mobil itu. Tampang Egi kali ini sedikit serius. Terlihat beberapa kali ia mengerutkan keningnya.

Tiga puluh menit berlalu.

          "Coba distater deh, Mba!" kata Egi.
          "Oh oke," jawab gadis itu.
      Brrmmmmm... Brrmmmmm. Suara deru mobil Jeep gadis itu terdengar ditelingaku.
          "Wah, hidup. Makasih, ya."
          "Sama-sama," jawab Egi.
          "Eh, kalian mau kemana?" tanya gadis itu.
          "Kita mau ke kawah." jawab Fadil.
          "Oh, mau ke kawah, ya. Sama, dong. Mending kalian ikut aku aja biar cepet!" kata gadis itu menawarkan tumpangan.
          "Wah, dapet tumpangan gratis, nih." jawab Egi sambil tertawa.
          "Iya. Ayo buruan naik!"
Kami pun bergegas naik mobil gadis tersebut. Tedy duduk di samping si gadis, sementara aku, Fadil, dan Egi duduk di belakang.

Mobil pun mulai melaju. Di dalam mobil, kami berkenalan. Ternyata, gadis tersebut bernama Resty. Ia gadis yang cerdas, terlihat dari cara ia menjawab pertanyaan-pertanyaan kami. Terlihat dari cara berpakaiannya, Resty berasal dari keluarga berada. Namun, ia tidak ingin menonjolkan dirinya. Pembawaannya sangat sederhana.
Cukup lama kami saling bertukar pengalaman dan tertawa mendengar lawakan Egi. Tak terasa, kami pun sampai di lokasi Kawah Putih.
Resty mulai memarkirkan mobilnya tepat di bawah pohon rimbun. Baru kali ini aku melihat pemandangan seindah ini. Semua terlihat begitu memesona. Apalagi didukung dengan suasana senja saat itu. Ahhh, aku pun susah menggambarkan keindahan ini.
Tak lama, Tedy mengajak aku, Egi, dan Fadil untuk berjalan mengikutinya. Tampaknya, Tedy sudah mengerti sekali seluk-beluk Kawah Putih. Seolah-olah ia tiap hari berada di sini.

Tiba-tiba...

         "Heeeeyy kalian mau kemana?" tanya Resty yang tengah bersandar di depan mobilnya.
         "Kita mau kesana!" jawab Tedy sambil menunjuk sebuah batu besar yang berada di depan kami.
         "Aku ikut, dong! Boleh nggak?"
         "Boleh, dong. Ayo!" jawab Tedy.
Akhirnya kami berlima berjalan menghampiri batu yang lumayan besar. Kira-kira tingginya 1,5 meter dan lebar 1 meter.
Setelah tepat berada di depan batu besar, Aku, Fadil, Egi, dan Resty bingung. Sebenarnya, apa yang ingin dilakukan Tedy.
         "Kita mau ngapain disini?" tanya Fadil.
         "Tenang dulu, Dil!" jawab Tedy.
Lalu, Tedy menyuruh aku, Fadil, dan Egi untuk melingkari batu besar itu, kecuali Resty. Dia hanya diam dan melihat apa yang sedang kami lakukan. Setelah itu, memerintahkan kami untuk memikirkan suatu mimpi yang ingin sekali kita capai.
          "Sekarang, elo semua mesti pejamin mata. Pikirin mimpi-mimpi kalian selama ini. Bagaimanapun caranya, kita pasti bisa menggapai mimpi mimpi kita. Sekarang, tanamkan dalam dalam mimpi itu pada diri kita. Lalu, buka mata kalian dan silahkan ambil batu kecil yang sedikit runcing. Goreskan pada batu besar ini tentang mimpi kalian," jelas Tedy.
Saat kami mulai menggoreskan tulisan di batu besar, tiba-tiba Tedy berkata, "STOP!"
          "Kenapa lagi, Ted?" tanyaku.
          "Kita janji dulu, deh. Kita nggak boleh saling lihat mimpi yang kita tulis di batu ini. Jadi, lo Dil, nggak boleh liat mimpinya Egi. Begitupun sebaliknya. Pokoknya, rahasiakan mimpi kalian. Oke, silahkan tulis mimpi kalian! Gores di batu besar ini sampai terlihat goresannya, ya!" kata Tedy.
          "Siaap, Bos. Laksanakan," jawab kita bertiga serentak.

Kami pun mulai menggoreskan mimpi kami di permukaan batu besar itu. Suasana menjadi hening. Sesekali terdengar suara daun kering yang tergesek terkena angin di bebatuan.
          "Udah selesai?" tanya Tedy.
          "Udah," jawab kita bertiga.
          "Ya udah kalo gitu. Kita tinggalkan tempat ini, ya! Nggak boleh ada yang liat mimpi orang lain. Sportif, ya," kata Tedy.
          "Iyaaa," jawab kita bertiga kembali.
Lalu, kita meninggalkan batu besar tersebut dan menghampiri Resty.
          "Resty, makasih ya udah ngasih tumpangan kita sampai ke atas sini," kata Tedy.
          "Iya. Sama-sama. Seneng bisa ketemu kalian. Untunh ada kalian. Kalo nggak, aku bingung mesti ngapain, hehehe. Oh iya, habis ini, kalian mau kemana lagi?" tanya Resty.
          "Kita pulang aja, yuk! Udah jam lima, nih," jawab Fadil.
          "Yaudah, kita pulang," kata Tedy.
          "Eh, kalian aku anterin pulang, ya," kata Resty kembali menawarkan diri.
          "Gimana, Bro?" tanya Tedy sambil berbisik.
          "Yaudah, kalo emang nggak ngerepotin, kita semua mau dianterin pulang," jawab Tedy.
          "Yaudah, ayo naik semua!"

Kami pun bergegas pulang. Mobil Resty kembali melaju meninggalkan Kawah Putih. Lambat laun, keindahan Kawah Putih hilang dari penglihatanku.

Senin, 18 Januari 2016

The Dreamers

•Sang Pemimpi•


7 Febuari 2009.
Siang itu, angin menerpa rerimbunan daun hingga membuatnya terjerembap ke bumi.

Sementara, riak suara air kali menambah suasana cerah saat itu. Tepat dibawah pohon rindang, aku, Fadil, Egi, dan Tedy sedang berbincang santai. Iya, dipinggiran kali tersebut.

Ditengah perbincangan santai, Tedy melemparkan obrolan serius. "Semua orang punya mimpi. Mimpi itu ibarat pohon. Jika ditanam dan dirawat, dia akan tumbuh dan berbuah. Kita pun dapat memetik hasilnya. Kalau ditanam, tapi nggak dirawat, ya percuma saja. Sampai kapan pun, kita nggak akan mendapatkan hasilnya." ujar Tedy panjang lebar.
         "Maksud lo apaan sih, Ted? Gue nggak ngerti deh," timpal Fadil dan Egi bersamaan.
         "Maksud gue begini, Bro. Jika kita hanya terus bermimpi, tapi tidak pernah ada perbuatan yang kita lakukan, mimpi itu nggak akan pernah tercapai. Bahkan, kita nggak akan dapetin hasilnya." 

Kemudian, Tedy pun menyadarkan tubuhnya di pohon sambil menatap ke atas langit.
         "Terus, apa yang harus kita lakukan, Ted?" tanyaku.
         "Kita mulai dari sekarang!"
Aku, Fadil, dan Egi mulai bingung dengan maksud dan tujuan Tedy. Tapi, Tedy meneruskan perkataannya.
          "Kita mulai dari sekarang!" Sambil bangkit dari tempat duduk dan melihat ke arah kita bertiga.
          "Kita harus menuliskan mimpi-mimpi kita dari sekarang! Kita tanamkan dalam diri kita bahwa kita punya mimpi yang harus dirawat dan diperjuangkan demi mendapatkan hasilnya!" katanya kembali dengan bersemangat.

Kami pun bangkit dan menghampiri Tedy, "Ted, gue nggak yakin bisa menggapai mimpi. Secara, keluarga gue bukan keluarga berada. Gue nggak punya uang buat ngejar mimpi," kata Egi.
          "Bro." Sambil menepuk pundak Egi dan melanjutkan pembicaraanya. 
          "Mimpi itu gratis. Kita tanamkan mimpi itu dalam diri kita terlebih dahulu. Layaknya bibit pohon, kita harus merawatnya supaya berbuah. Bener nggak? Nah sekarang, elo tanemin mimpi itu dalam diri lo. Rawat dan perjuangkan agar mimpi itu tumbuh dan berbuah."

Egi pun mengangguk, tanda menyetujui perkataan Tedy.
          "Iya, Ted. Gue pasti bisa!" jawabnya sambil menyunggingkan senyuman di sudut bibirnya.
Sesaat, suasana pun menjadi hening. Kami hanya saling menatap. Dan tiba-tiba, Tedy memecahkan keheningan.
         "Dorrrrr."
         "Ah, sial lo, Ted. Hahahahahaha," kataku sambil disambut dengan tawaan Egi dan Fadil.
         "Bro, gimana kalau kita pergi ke suatu tempat?" ajak Tedy.
         "Kemana? Jangan jauh-jauh, ah," jawab Fadil.
         "Wuuu, dasar anak mami Lo, Dil," jawab kita bertiga sambil memukul pelan kepala Fadil.
         "Nggak jauh kok Dil tempatnya," jawab Tedy.
         "Kemana emang, Bro?" tanyaku.
         "Kita ke kawah yuk," jawab Tedy.
         "HAH! Kawah?" Tanya Fadil.
         "Iya, Dil. Kita ke kawah aja. Disana, kita tulis semua mimpi-mimpi kita dan menanamkannya pada diri kita!" jawab Tedy.
         "Hmmmm..., yaudah deh," jawab Fadil pasrah.

Obrolan ringan yang sedikit berat ini pun tak terasa mengisi waktu luang kita berempat seharian ini. Tepat pukul 5 sore, kami pun bergegas pergi.
         "Oh iya, besok pagi kita kumpul di sini lagi ya!"
         "Iya, Bro," jawab kita bertiga.

Sabtu, 16 Januari 2016

The Dreamers

•Tentang kita•


Namaku Alvian Abdul Jabar. Sahabat sahabatku biasa menyapa dengan sebutan "AJ". AJ itu singkatan dua nama terakhirku, Abdul Jabar.

Aku berdarah Bandung-Jawa yang merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Ayahku dulu berjualan daging sapi di pasar, sebelum akhirnya sakit karena terkena penyakit paru-paru. Ya, mungkin karena dulu ia tidak bisa menghentikan kebiasaannya merokok sampai akhirnya kini paru-paru beliau telah rusak parah. Dengan kondisi ayah seperti itu, akhirnya ibu harus bekerja banting tulang untuk menghidupi kebutuhan kami sehari-hari. 

Keseharianku tak lepas dari tiga sahabat setiaku, Fadil, Egi, dan Tedy yang luar biasa hebat. Mereka itu seperti pahlawan buatku. Saat sedih dan duka, mereka selalu ada. Apalagi saat merasa gembira. Aku berjanji akan membagikan kebahagiaanku kepada mereka.
Persahabatan antara aku dengan Fadil, Egi, dan Tedy itu sudah bejalan hampir sepuluh tahun. Mereka, aku kenal sejak kelas lima sekolah dasar (SD). Tidak heran kalau kita jadi mengenai satu sama lain. Kebetulan juga memang satu kelas.
Kita memiliki satu kesamaan, yaitu perasaan senasib. Iya, senasib. Sama-sama bernasib tidak bagus dalam ekonomi. Tapi, kita berempat yakin kalau doa dan kerja keras kita akan dikabulkan oleh Tuhan. Semua akan indah pada waktunya.