•Mengejar Mimpi•
Di tepi kali, tepat pohon besar yang rindang, Egi menyandarkan tubuhnya. Matanya berkaca-kaca sambil menatap langit. Melihat pemandangan itu, aku coba mendekati Egi.
"Gi, kenapa lo ngelamun mulu. Udah, Gi. Lo nggak usah murung kayak gini. Kasihan Fadil. Dia itu pengen melihat kita bahagia. Kalo lo terus kayak gini, gue yakin Fadil akan sedih," katanya menasihati Egi.
"Iya, Je. Gue ngerti, kok."
Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar dari arah belakang. Sontak aku dan Egi segera menoleh. Ternyata itu suara langkah kaki Tedy. Ia berjalan menghampiri aku dan Egi.
Sesampainya di bawah pohon, tanpa sepatah kata pun yang terucap dari bibir Tedy, Tedy langsung duduk di bersandar di bawah pohon dan menarik nafas dalam dalam, lalu dihembuskan kembali.
"Kenapa, Ted? Lo ada masalah?" tanyaku.
"Kita nggak bisa kayak gini terus. Kita harus lebih maju. Kalo kita seperti ini terus, mimpi kita nggak akan pernah bisa terwujud," kata Tedy sambil menoleh ke arahku dan Egi.
"Jadi, maksud lo apa, Ted?" kata Egi.
"Kita harus mencari pekerjaan," jawab Tedy.
"Untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, kita harus pergi ke kota besar. Di sana, lapangan pekerjaan banyak. Dan, kita bisa mendapatkan penghasilan yang lumayan," kata Tedy melanjutkan.
"Maksud lo, kita merantau gitu?" tanya Egi.
"Iya, Bro. Kita harus mencoba mengadu nasib di kota besar."
"Dimana?" tanyaku.
"JAKARTA!" jawab Tedy dengan tegas sambil memasang senyum di sudut bibirnya.
"Setuju, nggak?" tanya Tedy.
"Hmm..., kalo aku sih setuju-setuju aja, Ted," jawabku.
"Aku juga setuju, Ted."
"Nah, semua udah setuju. Lusa kita berangkat, gimana?" tanya Tedy.
"Oke," jawab aku dan Egi serentak.
------
Hari ini, kami meminta izin ke orangtua masing-masing. Tentunya dengan membawa bekal dan uang yang cukup selama mencari pekerjaan di Jakarta. Setelah itu, kami berkumpul di tempat favorit seperti biasa.
Disana, kami berunding untuk menentukan hal apa saja yang perlu dipersiapkan. Pukul tiga sore, kami berangkat ke Jakarta menggunakan kereta api.
Di perjalanan kami teringat sosok Fadil. Tapi, kami sadar kalau Fadil telah tiada.
Di dalam kereta api, aku memejamkan mata sejenak sambil merebahkan tubuh kurus ini di kursi kereta api.
"Entah harus dari mana dimulainya mimpi yang pernah aku tulis di sebuah batu besar itu harus tercapai," kataku dalam hati.
Tiba tiba. "Karcis... karcis," kata petugas kereta api.
Tedy segera memberikan tiket kereta api. Setelah memberikan tiket kereta, kami kembali berbincang santai.
"Eh, nanti di Jakarta nggak usah khawatir terlantar, ya. Tante gue punya satu kamar kost kosong. Disana, kita bisa tidur bertiga," kata Tedy.
"Assiikkk. Jadi, kita gak perlu muter-muter cari kost-an lagi," kata Egi.
Sampai di Stasiun Gambir, aku, Fadil, dan Tedy mengantri turun sambil berdesakan dengan penumpang lainnya. Maklum, kami naik kelas ekonomi.
Setelah berhasil keluar, kami segera melanjutkan perjalanan menuju rumah tantenya Tedy. Cukup dengan menggunakan satu buah angkutan umum, kami sampai dengan selamat di rumah tantenya Tedy.
Tantenya Tedy ini sungguh ramah. Kami disambut dengan hangat. Setelah itu, kami disuguhi teh hangat untuk melepas dahaga kami selama perjalanan.
"Capek, ya? Di minum tehnya! Panggil aja saya Tante Nova," katanya sambil tersenyum
"Iya, Tante. Makasih," jawab kami serempak.
Setelah sedikit berbincang, akhirnya Tante Nova memberikan kunci kamar kost yang kosong. Kami pun langsung merebahkan badan di atas kasur yang telah tersedia di kostan tersebut. Karena lelah, tak terasa kami tidur bertiga diatas kasur yang sama.
------
Terdengar suara getaran handphone dengan nada panggil. Aku segera membuka mata ini perlahan sambil melirik jam tangan. Ternyata, itu bunyi alarm handphoneku.
"Udah jam lima subuh," kataku dalam hati.
Aku segera menoleh ke arah Egi dan Tedy yang masih tertidur pulas. Mungkin mereka masih merasa lelah setelah menempuh perjalanan seharian ini.
Setelah selesai mandi dan shalat subuh, aku langsung berjalan ke arah pintu keluar dan membuka pintu. Hembusan angin pagi ini mulai menusuk hingga ke pori-pori terdalam kulitku. Aku melihat Egi dan Tedy sudah bangun dan kami memutuskan pada siang hari untuk mencari pekerjaan.
Tepat pukul 10 pagi, kami bersiap-siap mencari pekerjaan. Setelah selesai sarapan, kami pamit ke Tante Nova dan pergi melamar kerja ke beberapa perusahaan dan pertokoan yang membutuhkan karyawan baru. Ya, hanya dengan bermodalkan ijazah SMA.
Cukup lama kami berkeliling dari pagi sampai sore. Tapi hasilnya, nihil. Ternyata, mencari pekerjaan itu tidak semudah yang kami bayangkan.
------
Keesokan harinya, seperti biasa. Kegiatan kita hanya mencari pekerjaan. Sudah seminggu lebih kita mencari pekerjaan. Namun, aku dan Tedy masih harus menunggu panggilan. Sementara Egi, ia lebih beruntung dari kami. Ia telah diterima bekerja di salah satu perusahaan asing sebagai maintenance.
Ternyata, waktu mendapat panggilan di perusahaan otomotif itu, bertemu dengan Resty. Iya, Resty yang dulu mobilnya mogok di Kawah Putih. Ternyata Resty juga bekerja di perusahaan yang sama bersama Egi.
Resty bekerja sebagai manajer. Inilah yang memudahkan Egi mendapatkan posisinya sekarang ini.
Setelah beberapa bulan bekerja di sana, Egi mulai memutuskan untuk pindah kostan. Sebab, jarak dari kostan ke kantor Egi, cukup jauh. Ongkos yang dikeluarkan pun cukup besar. Akhirnya, setelah berunding dengan aku dan Tedy, Egi memutuskan untuk pindah kost yang dekat dengan kantornya.
Peruntungan Egi tidak sampai di situ, karena ia anak yang rajin dan pekerja keras, ia pun dipercayakan memegang posisi Kepala Maintenance. Bahkan, setelah tiga bulan bekerja di sana, Egi dipindahtugaskan ke Jepang bersama Resty untuk memimpin tim yang dibentuk oleh atasan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar