•Satu kata untuk sahabat•
Tidak seperti biasanya, akhir-akhir ini mama pergi ke pasar sendirian. Alhasil, aku memiliki banyak waktu untuk bersantai di rumah.
Siang itu seusai membantu mama berjualan, aku langsung duduk santai di atas sofa sambil nonton beberapa acara televisi. Cukup lama aku menonton televisi hingga membuatku merasa bosan. Hingga akhirnya, aku memutuskan untuk ke tempat favoritku, berharap bisa bertemu dengan sahabat-sahabat terbaikku.
"Fadil, Egi, Tedy, aku kangen sama kalian," kataku dalam hati.
"Andai kalian tahu, ada banyak hal yang ingin aku ceritakan kepada kalian," kataku kembali.
Sampai di tempat favorit, aku lihat Fadil sudah ada di sana. Aku berlari kencang dan hampir tersungkur. Lalu, kepeluk erat tubuh Fadil. Kugoncangkan hebat tubuhnya. Ya, ini adalah pelampiasan atas kangenku yang terlalu berlebih.
Tiba-tiba, dari arah belakangku seperti ada yang menepuk pundak. Ternyata Egi dan Tedy. Ya, mereka. Sahabat-sahabat setiaku.
Kami pun mengambil posisi masing-masing untuk duduk tepat di bawah pohon rindang di pinggir kali. Entah harus meluapkan seperti apa kegembiraan ini. Yang pasti, aku rindu mereka. Rindu dengan sahabat-sahabat terbaikku.
Karena sudah lama tidak bertemu, Fadil berinisiatif mengajak kita bertiga pergi ke suatu tempat. Di mana kita bisa menikmati pemandangan perkebunan teh yang indah dan bisa melihat pemandangan matahari kala senja. Kita bertiga pun menyetujui ajakan Fadil.
Cukup lama kita berjalan dan akhirnya tiba juga di perkebunan teh. Sambil terus berjalan menuju bukit teratas, kami tertawa karena mendengar kelakar Egi.
Sampai diatas bukit, kami duduk di atas tumpukan daun kering. Di sini kami melepaskan kerinduan lantaran sudah satu bulan tidak bertatap muka sama sekali.
Cukup lama kami bercengkerama, tak terasa sudah pukul lima sore. Kami pun memutuskan untuk pulang. Aku dan ketiga temanku pun segera beranjak dari tempat itu dan mulai melangkahkan kaki.
Aku melangkahkan kaki ini perlahan menuruni perkebunan teh diiringi dengan pemandangan indah terbenamnya matahari senja. Baru beberapa saat berjalan, tiba-tiba di depan terlihat lima orang pemuda yang berjalan. Mereka menghampiri kami.
"Tunggu, Bro!" sapa salah satu dari kelima pemuda itu.
"Iya. Ada apa, Bang?" tanya Tedy.
"Kita lagi butuh uang, nih!"
"Tapi, kita nggak punya uang, Bang."
"Aah, jangan bohong lo!"
Tiba-tiba, kelima pemuda itu langsung merogoh saku celana kita berempat. Egi yang saat itu merasa diperlakukan mereka kasar, langsung melawan salah satu dari kelima pemuda tersebut.
Ia sempat beradu mulut sebelum akhirnya saling adu jotos. Suasana mulai ricuh saat salah satu dari kelima pemuda itu mulai menyerang Tedy. Aku yang saat itu berada di samping Tedy, mulai memisahkan pertengkaran itu. Tapi sayang, niatku tersebut justru menghadiahkan satu bogeman mentah di pipi sebelah kananku.
Perkelahian pun tak terelakan lagi. Kami berempat melawan kelima pemuda yang memaksa kami untuk memberikan uang.
Mendengar suara gaduh, warga yang berada di dekat perkebunan teh mulai keluar rumah.
"Woii, bubar!" kata salah seorang warga, yang diikuti warga lainnya.
Mendengar teriakan warga, tiba-tiba salah satu dari kelima pemuda yang berniat memalak kita berempat, mengeluarkan sebilah pisau. Kemudian, ia menusuk perut dan bagian dada Egi. Saat itu juga Egi langsung tergeletak.
Melihat Egi tergeletak, kelima pemuda itu segera berlari meninggalkan kami. Aku yang saat itu melihat Egi tergeletak, langsung panik. Untunglah warga yang menghampiri kita segera membawa Egi kerumah sakit.
Tiba di rumah sakit, Egi langsung di bawa ke UGD. Aku, Fadil, dan Tedy menunggu di luar ruangan sambil berharap semoga Egi tidak kenapa-kenapa.
Dalam kondisi panik seperti ini, Tedy mulai menghubungi orangtua Egi. Tak lama kemudian, orangtua Egi tiba di rumah sakit. Mereka menangis sejadi-jadinya. Rentetan pertanyaan pun dilontarkan kepada kami bertiga. Tedy yang lebih tenang menghadapi peristiwa ini, menjelaskan kronologis detail peristiwa yang baru saja kami alami.
Setelah Tedy menjelaskan kejadian itu, tak lama kemudian keluar seorang dokter dari dalam ruangan di mana Egi dirawat saat itu.
"Kondisinya benar-benar parah. Ada dua tusukan. Di bagian perut dan dada. Kini, kondisinya masih lemah. Mohon bapa ibu dan bapak bersabar dan trus berdoa," kata Dokter yang menangani Egi.
Aku, Fadil, dan Tedy kembali duduk. Diiringi dengan orangtua Egi. Tak hanya ibu Egi saja yang bisa menangis, aku pun tak kuasa menahan sedih. Tedy berusaha menenangkan ibunda Egi.
Karena penasaran dengan kondisi Egi, aku langsung bangkit dari tempat duduk dan berjalan ke arah pintu UGD rumah sakit. Kebetulan di pintu terdapat kaca kecil untuk melihat ke dalam ruangan pasien.
Disana, aku lihat Egi sedang terbaring lemas tak berdaya. Bercak darah masih terlihat dibaju dan celana Egi saat itu.
Setelah melihat kondisi Egi, aku langsung kembali duduk dan terus berdoa semoga tidak terjadi hal-hal yang buruk terhadap Egi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar