Senin, 18 Januari 2016

The Dreamers

•Sang Pemimpi•


7 Febuari 2009.
Siang itu, angin menerpa rerimbunan daun hingga membuatnya terjerembap ke bumi.

Sementara, riak suara air kali menambah suasana cerah saat itu. Tepat dibawah pohon rindang, aku, Fadil, Egi, dan Tedy sedang berbincang santai. Iya, dipinggiran kali tersebut.

Ditengah perbincangan santai, Tedy melemparkan obrolan serius. "Semua orang punya mimpi. Mimpi itu ibarat pohon. Jika ditanam dan dirawat, dia akan tumbuh dan berbuah. Kita pun dapat memetik hasilnya. Kalau ditanam, tapi nggak dirawat, ya percuma saja. Sampai kapan pun, kita nggak akan mendapatkan hasilnya." ujar Tedy panjang lebar.
         "Maksud lo apaan sih, Ted? Gue nggak ngerti deh," timpal Fadil dan Egi bersamaan.
         "Maksud gue begini, Bro. Jika kita hanya terus bermimpi, tapi tidak pernah ada perbuatan yang kita lakukan, mimpi itu nggak akan pernah tercapai. Bahkan, kita nggak akan dapetin hasilnya." 

Kemudian, Tedy pun menyadarkan tubuhnya di pohon sambil menatap ke atas langit.
         "Terus, apa yang harus kita lakukan, Ted?" tanyaku.
         "Kita mulai dari sekarang!"
Aku, Fadil, dan Egi mulai bingung dengan maksud dan tujuan Tedy. Tapi, Tedy meneruskan perkataannya.
          "Kita mulai dari sekarang!" Sambil bangkit dari tempat duduk dan melihat ke arah kita bertiga.
          "Kita harus menuliskan mimpi-mimpi kita dari sekarang! Kita tanamkan dalam diri kita bahwa kita punya mimpi yang harus dirawat dan diperjuangkan demi mendapatkan hasilnya!" katanya kembali dengan bersemangat.

Kami pun bangkit dan menghampiri Tedy, "Ted, gue nggak yakin bisa menggapai mimpi. Secara, keluarga gue bukan keluarga berada. Gue nggak punya uang buat ngejar mimpi," kata Egi.
          "Bro." Sambil menepuk pundak Egi dan melanjutkan pembicaraanya. 
          "Mimpi itu gratis. Kita tanamkan mimpi itu dalam diri kita terlebih dahulu. Layaknya bibit pohon, kita harus merawatnya supaya berbuah. Bener nggak? Nah sekarang, elo tanemin mimpi itu dalam diri lo. Rawat dan perjuangkan agar mimpi itu tumbuh dan berbuah."

Egi pun mengangguk, tanda menyetujui perkataan Tedy.
          "Iya, Ted. Gue pasti bisa!" jawabnya sambil menyunggingkan senyuman di sudut bibirnya.
Sesaat, suasana pun menjadi hening. Kami hanya saling menatap. Dan tiba-tiba, Tedy memecahkan keheningan.
         "Dorrrrr."
         "Ah, sial lo, Ted. Hahahahahaha," kataku sambil disambut dengan tawaan Egi dan Fadil.
         "Bro, gimana kalau kita pergi ke suatu tempat?" ajak Tedy.
         "Kemana? Jangan jauh-jauh, ah," jawab Fadil.
         "Wuuu, dasar anak mami Lo, Dil," jawab kita bertiga sambil memukul pelan kepala Fadil.
         "Nggak jauh kok Dil tempatnya," jawab Tedy.
         "Kemana emang, Bro?" tanyaku.
         "Kita ke kawah yuk," jawab Tedy.
         "HAH! Kawah?" Tanya Fadil.
         "Iya, Dil. Kita ke kawah aja. Disana, kita tulis semua mimpi-mimpi kita dan menanamkannya pada diri kita!" jawab Tedy.
         "Hmmmm..., yaudah deh," jawab Fadil pasrah.

Obrolan ringan yang sedikit berat ini pun tak terasa mengisi waktu luang kita berempat seharian ini. Tepat pukul 5 sore, kami pun bergegas pergi.
         "Oh iya, besok pagi kita kumpul di sini lagi ya!"
         "Iya, Bro," jawab kita bertiga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar