Sabtu, 23 Januari 2016

The Dreamers

Malam kian larut, suasana sepi mulau terasa di rumah sakit. Melihat kondisi Egi yang belum sadar, akhirnya aku, Fadil, dan Tedy memutuskan untuk menginap di rumah sakit, menunggu sambil Egi sadar. Aku segera menelepon ke rumah untuk memberi kabar mama. Begitupun dengan Fadil dan Tedy.

Hingga keesokkan harinya, kami bertiga memutuskan untuk pulang. Tapi, salah satu harus ada yang tinggal untuk menemani Egi. Tedy memilih pulang duluan dan kembali kerumah sakit siang. Setelah itu, Fadil. Disusul dengan aku.

Tepat pukul tiga sore, ketika aku ingin balik dan giliran Fadil dan Tedy yang berjaga, Egi mulai sadar. Tapi, kondisinya masih lemas dan belum memungkinkan untuk diajak bicara.

Memasuki hari kedua, kondisi Egi bukannya semakin membaik, justru semakin memburuk. Ia kembali drop dan tidak sadarkan diri.

Setelah dokter kembali memeriksa Egi, ternyata terjadi infeksi pada bagian hati, jantung, dan beberapa organ dalam tubuh lainnya akibat tusukan pisau berkarat kelima pemuda yang tempo hari berkelahi dengan kami.

Dokter mengatakan kepada ibu dan bapak Egi kalau infeksi yang terjadi di dalam tubuh Egi ini sangat berbahaya. Kebetulan, kami bertiga ada disitu.

Satu satunya cara menyelamatkan Egi adalah mencari pendonor yang mau mendonorkan hati dan beberapa organ dalam tubuh lainnya.

Aku benar-benar syok. Entah apakah sama yang dirasakan dengan Tedy dan Fadil. Orangtua Egi menangis sesenggukkan. Mereka benar-benar bingung harus berbuat apa.

------
Pihak rumah sakit memberlakukan peraturan bagi yang menunggu pasien minimal dua orang. Alhasil, Aku, Fadil, dan Tedy harus bergantian menunggu sampai Egi sembuh.

Tepat pukul tujuh malam, aku dan Tedy memutuskan untuk pulang. Sedangkan Fadil memutuskan untuk tetap di rumah sakit bersama Ibunda Egi.

Tanpa sepengetahuan aku dan Tedy, tepat pukul 10 malam, Fadil memaksa dokter untuk mengoperasi dirinya dan memberikan organ dalam tubuhnya kepada Egi.

Awalnya, keinginan Fadil ditolak dokter. Sebab, hal ini menyangkut nyawa dirinya. Tapi, Fadil terus memaksa.
       "Aku hanya ingin melihat orang-orang di sekitarku bahagia. Jadi, apa pun risikonya, aku siap."

Setelah meyakinkan dokter, pukul dua belas malam Fadil dan Egi dibawa ke ruang operasi. Di sana Fadil terus melihat ke arah Egi yang saat itu terbaring tidak berdaya.

Pukul tiga dini hari, operasi selesai. Tapi, apa? Fadil menghembuskan nafas terakhirnya.

------
Tepat pukul delapan pagi, aku dan Tedy langsung menuju rumah sakit. Sesampainya di sana, pihak dokter langsung menceritakan kejadian nekad Fadil yang mendonorkan hatinya untuk Egi. Aku dan Tedy yang tidak tahu apa-apa mulai bertanya tanya, sebelum akhirnya dokter mengatakan Fadil telah meninggal dunia.

Aku masih tidak percaya dengan perkataan dokter sebelum akhirnya ia menunjukkan kepada aku dan Tedy jenazah Fadil di kamar mayat. Di sana, sudah terlihat orangtua Fadil serta orangtua Egi.

Aku menangis sejadi-jadinya. Sementara, ibunda Fadil pingsan. Lalu, dibawa oleh perawat rumah sakit. Di sana, dokter mulai menjelaskan semuanya.
        "Sahabatmu ini sangat luar biasa. Dia mengorbankan hidupnya hanya untuk melihat orang di sekitarnya bahagia."

Aku dan Tedy kembali menangis dan mendekap tubuh Fadil yang sudah tidak berkutik lagi. Dingin sekali tubuh itu. Namun, diwajahnya masih menyimpan senyuman. Iya. Senyum kebahagiaan karena telah menolong hidup sahabatnya.

Tepat pukul dua belas siang, Fadil mulai di makamkan. Aku dan Tedy ikut mengantar sampai rumah peristirahatan. Kecuali dengan Egi. Dia masih harus menjalani perawatan intensif pasca operasi.

------
Seminggu setelah kepergian Fadil, Egi mulai sehat dan kembali beraktivitas. Namun, Egi masih belum mengetahui bahwa Fadil telah tiada. Hingga suatu hari, Egi bertanya kepadaku dan Tedy.
        "Bro, Fadil mana?"

Aku dan Tedy saling menatap. Bingung harus berkata apa. Namun, aku dan Tedy tetap harus jujur kepada Egi. Ia harus mengetahui ini semua.

Tedy pun mulai bercerita panjang lebar tentang kejadian yang sebenarnya, setelah mendengar hal tersebut. Mulai di kedua pelupuk mata Egi mengalir deras kristal-kristal bening. Tak terlihat lagi wajah Egi yang ceria.
         "Bro, anterin gue ke makan Fadil, ya," kata Egi sambil mengusap air matanya.

Sampai di pemakaman, Egi langsung duduk bersimpuh menghadap batu nisan Fadil. Egi tidak menyangka kalau Fadil nekat berbuat seperti itu demi dirinya.
         "Dil, kenapa lo ngelakuin hal ini! Lo sahabat terbaik yang gue miliki. Kalo lo ngelakuin ini demi kebahagiaan gue. Gue bener-bener terima kasih sama lo, Dil. Jujur, gue bingung harus bales lo pake apa. Yang pasti, elo selalu akan tersimpan di hati gue. Doa gue pasti akan selalu menyertai nama lo."

Egi masih mengungkapkan kesedihannya di makam Fadil. Tak kuasa, ia pun memeluk batu nisan Fadil. Aku dan Tedy yang saat itu berada di samping Egi, mulai menenangkan Egi.

Sekarang sudah pukul lima sore. Cuaca mulai gelap. Awan hitam mulai menggelayuti langit. Menyelimuti pekatnya kondisi di pemakaman.
Sayup-sayup terdengar rintihan pohon karena saling menggesek. Ditambah bunyi gemuruh yang cukup besar.
        "Gi, cuaca udah mendung banget, nih. Pulang aja yuk sebelun hujan!" kata Tedy.

Egi mulai bangkit dan kita segera memutuskan untuk pulang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar