Kini tinggal aku dan Tedy yang masih di Jakarta. Kami berdua masih belum juga mendapat perkerjaan. Tak hanya itu, berkomunikasi dengan Egi pun semakin sulit karena kesibukannya. Aku dan Tedy tidak menyalahkannya. Ini demi mengejar impiannya selama ini.
Kemacetan di Kota Jakarta telah menjadi makanan keseharian aku dan Tedy. Di bawah teriknya sinar matahari, aku dan Tedy terus berkeliling memasukan surat lamaran ke beberapa perusahaan.
Beberapa hari kemudian, Tedy mendapat panggilan dari salah satu studio foto. Ia akhirnya diterima menjadi fotografer di sana. Tentunya dengan masa training tiga bulan.
Dua bulan bekerja, Tedy mendapatkan kepercayaan dari atasannya untuk menjalankan salah satu studio foto di Bandung. Akhirnya, Tedy pindah ke Bandung.
Sekarang, tinggal aku sendiri di kostan dan terus mencari pekerjaan. Sudah hampir tujuh bulan tinggal di kota besar, aku belum juga mendapatkan pekerjaan. Sementara, aku sudah susah sekali menghubungi Tedy dan Egi. Namun, aku tidak patah semangat untuk terus mencari pekerjaan.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hariku dan membayar kost di Jakarta, aku bekerja serabutan. Apa pun aku kerjakan demi mendapatkan uang. Tentunya dengan jalan yang halal.
Kegemaranku pada dunia teknologi membuatku menyukai social media. Iya, aku suka sekali dengan Twitter. Di sana, aku bisa mengeluarkan unek-unekku. Itulah awal munculnya akun @AhSpeakDoang. Aku menyebut diriku dengan sebutan "Om Spik!"
Satu bulan setelah membuat akun tersebut, ternyata followers-ku bertambah banyak. Inilah yang membuatku semakin semangat bermain di social media.
Sampai suatu hari, tidak sengaja aku membaca salah satu mention dari followers-ku.
"Om, tweetnya bagus-bagus. Aku suka banget. Keren-keren lagi. Kenapa nggak dijadiin buku aja, hehe."
Sempat kaget juga sih baca mention itu, tapi setelah dipikir-pikir, ternyata ada baiknya juga. Akhirnya, aku mulai mencoba menulis beberapa cerita. Ya, cerita nyata yang benar-benar aku alami.
Setelah menyelesaikan beberapa cerita, aku yang saat itu hanya bermodalkan beberapa naskah di tangan, langsung mencari penerbit yang bersedia menerbitkan buku ini.
Ternyata tidak mudah mencari penerbit, penolakan demi penolakan aku dapat saat itu. Tapi, semangat aku masih membara. Aku harus bisa mengejar impianku.
Berbulan-bulan aku mencari penerbit, akhir-akhirnya aku bertemu dengan salah dengan Mas Fabi, salah seorang Editor In Chief di perusahaan penerbitan.
"Naskahnya saya terima dulu, ya. Nanti akan saya kabari lagi sekitar satu atau dua Minggu." Dengan senang hati aku memberikan naskah-naskah kisah nyataku.
Dua Minggu berlalu, tiba-tiba aku mendapat telepon dari Mas Fabi bahwa naskahku diterima dan akan dibutuhkan. Tentunya dengan beberapa revisi naskah yang harus diperbaiki.
Kini, harapanku menjadi penulis tercapai. Ternyata, waktu akan menjawab semuanya.
-----
Sembilan bulan aku sudah tidak bertemu dan berkomunikasi dengan Egi dan Tedy. Tepat pada 15 Agustus 2012, sebelum perayaan hari raya Indul Fitri, aku memutuskan untuk pulang ke kampung halaman. Aku rindu kampung halamanku.
Aku segera membereskan pakaian dan perlengapan lainnya yang ada di kostan. Aku pergi menuju Stasiun Gambir. Sesampainya di stasiun, aku langsung menuju loket penjualan tiket dan membeli tiket kereta yang menuju ke Bandung pada hari itu juga.
Tepat pukul tiga sore, kereta yang aku tunggu datang. Aku masuk menuju gerbong kereta. Karena ramai, aku harus berdesakan masuk dengan penumpang lainnya.
Tiba-tiba saja, terlintas dalam pikiranku akan kenangan bersama Fadil, Egi, dan Tedy. Fadil sudah bahagia menemui "Kekasih-Nya". Lalu, bagaimana dengan Egi dan Tedy? Aku benar-benar kangen dengan mereka.
Kurang lebih satu jam perjalanan, akhirnya aku sampai di Bandung, di kampung halamanku.
Kurang lebih dua puluh menit setelah naik kendaraan umum, aku tiba di rumah. Kedatanganku disambut hangat oleh keluarga.
------
Sungguh tidak terasa waktu berjalan begitu cepatnya. Sekarang tepat 19 Agustus 2012, aku merayakan hari Idul Fitri. Semua menyambut dengan gembira.
Rasa rindu ini mulai aku rasakan lagi. Aku benar-benar kangen sama sahabatku. Sambil menikmati suasana saat itu, aku membayangkan kebersamaanku dengan Fadil, Egi, dan Tedy.
"Dil, gue kangen banget sama lo. Semoga lo tenang di sana ya, Dil," kataku dalam hati.
Entah kini, Egi, dan Tedy telah menjadi apa. Aku tidak tahu. Yang jelas, aku kangen banget sama mereka.
Setelah cukup lama aku di sana, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dari arah belakang, sontak aku langsung menoleh ke arah belakang. Dan betapa terkejutnya aku, ternyata yang aku lihat itu adalah Egi dan Tedy. Iya, sahabatku dimasa dulu. Mereka berjalan ke arah aku dengan cepat dan langsung memelukku. Disana kami melepas rasa kangen kami.
Egi berbicara tentang beberapa hal. Kini ia telah bekerja di salah satu perusahaan di Jepang dan Tedy bekerja di salah satu studio foto. Mereka benar-benar sukses. Aku rasa kini sahabat-sahabatku telah menjadi orang yang sukses. Apalagi Egi, kini ia terlihat sangat rapi dan juga memiliki mobil pribadi.
------
Setelah cukup lama bercengkerama, tiba-tiba Tedy mengajak aku dan Egi untuk pergi ke Kawah Putih, melihat mimpi-mimpi kita yang pernah kita tulis di sebuat batu besar. Tawaran yang sangat menarik.
Hari itu juga, aku, Egi, dan Tedy bergegas pergi menuju Kawah Putih menggunakan mobil milik Egi. Di tengah perjalanan, kami teringat akan sosok Fadil. Dulu, susah dan senang kami lewati bersama. Tapi, kini kita hanya bertiga.
Kurang lebih tiga puluh menit perjalanan, akhirnya sampai juga di Kawah Putih. Kami keluar dari mobil dan langsung berjalan menuju batu besar.
Setelah tepat berada di depan batu besar, kami sepakat untuk melihat mimpi-mimpi kita yang dulu pernah di tulis di batu itu.
Egi mulai membersihkan batu yang saat itu telah berlumut sehingga tulisannya telah tertutup lumut. Setelah dibersihkan, disaksikan oleh Aku dan Tedy, Egi mulai membacakan mimpinya. Dan mimpi yang dulu pernah Egi tulis adalah "Aku ingin menapakkan kaki di negara Sakura(Jepang)."
Dan mimpi itu kini menjadi kenyataan. Egi justru bekerja disana.
Setelah itu, berlanjut melihat mimpi yang pernah ditulis Tedy. Disana Tedy menuliskan mimpinya.
"Aku ingin menjadi seorang fotografer."
Dan mimpi Tedy pun kini telah terwujud. Ia benar-benar menjadi seorang fotografer.
Lalu sekarang, giliranku melihat mimpi yang dulu pernah aku tulis di belakang batu dimana disitulah mimpi yang pernah aku tulis dulu.
"Aku ingin menjadi seorang penulis." Benar saja. Kini aku telah menjadi seorang penulis.
Setelah melihat mimpi-mimpi yang dulu pernah ditulis, tiba-tiba kami terdiam, saling bertatapan.
"Fadil, ya Fadil," kata Tedy.
"Kenapa, Ted?" tanya aku.
"Kita lihat mimpi yang pernah Fadil tulis, yuk!"
"Iya, Ayo, Ted," jawab Egi.
Lalu, kami berpindah posisi di sebelah kiri batu, dimana Fadil menuliskan mimpinya. Kami membaca mimpi Fadil bersamaan, "Sahabat, aku ingin kita selalu bersama."
Setelah membaca tulisan itu, tak ada satu pun dari kita yang mampu menahan air mata. Kristal bening mulai menetes di seluruh pelupuk mataku. Begitupun dengan Tedy dan Egi.
"Benar-benar luar biasa lo, dil," ucapku dalam hati.
"Dil, meskipun lo udah nggak ada, tapi hati lo ada di dalam diri gue," kata Egi sambil menangis.
"Dan elo, Dil, bakalan tetap bersama kita," sahut Tedy.
Setelah itu, kami langsung memutuskan untuk ziarah ke makam Fadil.
Sesampainya di sana, kami memanjatkan doa agar Fadil berada di tempat yang paling istimewa di samping Tuhan Yang Maha Esa. Aamiin..
Sahabat, you're my hero..
Sahabat, you're my inspiration..
Sahabat, you're my everything..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar