Selasa, 19 Januari 2016

The Dreamers

Selesai membantu mama berjualan nasi uduk, siang itu aku langsung bergegas pergi. Seperti biasa, nongkrong di tempat favorit bersama ketiga sahabatku. Ya, di bawah pohon pinggir kali.
Sesampainya di sana, aku melihat Egi sedang duduk bersandar di bawah pohon. Mendengar suara langkah kakiku, Egi pun menoleh ke belakang.
        "Hai, Je. Sini!" panggil Egi.
        "Iya, Bro," jawabku.
Aku pun duduk di sebelah Egi sambil menatap keatas, mengamati pemandangan langit yang begitu cerah. Lalu, aku pun menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.
        "Oh iya, Gi. Kemaren lo nulis apaan di batu?" tanya aku memecah keheningan siang itu.
        "Ah, rahasia dong. Emang, lo nulis apaan Je?"
        "Ada deh, haha...," jawabku sambil tertawa.

Tiga puluh menit sudah kita bercengkerama santai sambil ditemani nyanyian daun dan suasana cerah saat itu. Tiba- tiba suara langkah kaki terdengar dari belakang yang sontak membuat aku dan Egi menoleh ke belakang bersamaan. Ternyata, itu suara langkah kaki Fadil dan Tedy.
        "Broo, lagi pada ngapain?" tanya Tedy.
        "Biasa, lagi nongkrong," jawab Egi.
        "Eh, Bro. Gimana kalau kita pergi ke sana?" tanya Tedy sambil nunjuk ke arah pegunungan yang terpampang di depan kita berempat.
Karena kecintaan pada alam, akhirnya tanpa basa-basi, kami setuju dan bergegas pergi. Satu jam perjalanan, akhirnya kami tiba di Dusun Kaliurang, sebuah perkampungan yang dikenal dengan karakter penduduknya yang ramah.

Benar saja. Baru memasuki gapura di salah satu dusun, kami langsung bertegur sapa dengan salah seorang penduduk yang sedang mencari rumput.
         "Aduh, pemuda-pemuda harapan bangsa ini mau pada kemana?" tanya salah seorang penduduk yang saat itu sedang mencari rumput.
         "Mau ke atas, Pak," jawab Tedy.
         "Oh, kalian mau ke curug (air terjun), ya?" tanya bapak pencari rumput.
         "Loh, emang disini ada curug ya, Pak?" tanya Egi.
         "Aduh, kalian baru pertama kali kesini, ya?" tanya bapak pencari rumput itu pun balik bertanya.
         "Iya, Pak," jawab Tedy sambil tersenyum.
         "Pantesan. Di sini tuh ada curug yang terkenal dengan keindahannya. Airnya itu bener-bener seger. Kalian semua wajib kesana!" kata bapak itu.
         "Curugnya ada dimana, Pak?" tanyaku.
         "Lurus aja terus, nanti bakalan nemu curugnya," jawab bapak itu.
         "Oh, yaudah. Kita semua kesana dulu ya, Pak. Terimakasih." jawab Tedy.

Tergiur sekaligus penasaran ingin melihat curug itu, akhirnya kami berencana pergi kesana, dengan bermodalkan petunjuk dari bapak pencari rumput. Langkah demi langkah kami jejakkan bersama.

Setelah tiga puluh menit berjalan, tiba-tiba Tedy berhenti berjalan dan melihat ke arah sungai yang ada di samping.
         "Kenapa Ted? Kok diem?" tanyaku.
         "Liat anak SD itu deh Je," jawab Tedy.
Kita berempat kaget melihat beberapa anak SD yang hendak menyebrang sungai. Mereka digendong ayahnya masing-masing untuk menyebrang sungai.
         "Ternyata, di sini tidak ada jembatan penyebrangan, ya," kata Fadil memecah keheningan saat itu.
         "Iya, Dil," jawabku.
Bukan Tedy namanya kalau nggak punya ide-ide kreatif. Tedy pun bergegas menuju ke arah sungai dengan diikuti kita bertiga.

Sesampainya di pinggir sungai, kami terdiam sejenak melihat orang-orang yang baru saja menyebrang sungai. Kini, di sungai itu hanya tinggal kita berempat.
         "Dil, elo dulu kan pernah ikut Pramuka. Bisa bikin perahu kan lo?" tanya Tedy.
         "Bukan perahu, Ted. Rakit," jawab Fadil.
         "Hmmm, yaudah deh. Yuk bikin rakit!" kata Tedy sambil tersenyum.
         "Ayo!" jawab Fadil, aku dan Egi tanda setuju.

Kami pun mulai mengumpulkan kayu kayu bekas dan beberapa batang pohon pisang yang ada di sekitar sungai. Setelah semua terkumpul cukup banyak, kami mulai menyusun satu persatu kayu dengan tali seadanya yang kami temukan bersamaan dengan kayu. Tentunya dipandu oleh Fadil.
Cukup lama kita berkutat merangkai satu persatu kayu tersebut untuk menjadi rakit. Dan akhirnya, jadi juga.

Kami pun mencoba terlebih dahulu untuk menyebrangi sungai. Hasilnya cukup memuaskan. Rakit hasil kita berempat cukup kuat dan nyaman walaupun dibuat dengan barang seadanya.

Tak lama kemudian, kita melihat segerombolan anak SD yang akan menyebrang sungai. Mereka semua terkejut karena baru kali ini ada rakit. Akhirnya, mereka menyebrangi sungai menggunakan rakit buatan kami. Senang rasanya bisa membantu.

Setelah itu, kami pun melanjutkan perjalanan menuju curug. Beberapa kali, Egi berkelakar sehingga membuat suasana semakin nyaman.
Tak lama kemudian, mulai terdengar suara deras air dan hawa semakin dingin menusuk sampai ke pori-pori kulit. Benar saja, lima belas menit berjalan, kami menemukan curug yang dimaksud oleh bapak pencari rumput.

Sungguh pemandangan yang luar biasa. Benar-benar indah. Tidak menyia-nyiakan moment indah itu, kami mulai mendekati air terjun itu. Semakin dekat dengan air terjun itu, semakin kencang hembusan angin dan percikan air menghempas tubuh kami. Disana, kami menghabiskan waktu bersama hingga senja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar